RSS

Arsip Bulanan: Desember 2011

Menulis Secara Kronologis

Menulis adalah salah satu keterampilan berbahasa yang dapat ditingkatkan dengan banyak membaca. Lewat membaca, kosakata akan semakin kaya & paparan terhadap ragam gaya bahasa akan memberi tulisan kita warna. Dalam konteks mengajar, praktik reading aloud dapat dipraktikkan pada murid-murid usia dini atau yang mempunyai attention span pendek.

Dua hal yang perlu diperhatikan saat mengajarkan teknik menulis cerita naratif dalam bahasa Inggris adalah penguasaan sequence words (kata-kata yang menunjukkan urutan) & kronologi peristiwa agar alur cerita enak dibaca.

Sebelum menugasi murid untuk menulis jurnal liburan atau mengarang fiksi, murid perlu mengenal terlebih dulu apa yg dimaksud dengan sequence (urutan) itu sendiri. ‘Angka’ menunjukkan jumlah (one, two, three, dst.), sedangkan ‘angka kesekian’ menunjukkan urutan (first, second, third, dst.).

Sebagai perkenalan dasar, Anda dapat menggambar 10 semut (bintang, hati, atau benda lain yang mudah untuk digambar) dalam sebuah barisan. Kemudian, tuliskan 1st hingga 10th di atas gambar. Minta murid untuk menunjuk ke semut sesuai urutan mereka, “Point at the first (second, third, last) ant“. Variasikan dengan instruksi seperti “Draw a circle around the first ant” atau “Color the third ant with red” dan sebagainya. Pastikan bahwa murid Anda tahu bahwa 1st = first, 2nd = second, dst.

Setelah konsep dasar tentang ‘urut-mengurut’ sudah solid, Anda bisa menambah daftar kosakata mereka dengan sequence words lain, seperti then, after that, next dan finally.

Berikutnya, latih kemampuan mereka menggunakan 4-10 kartu bergambar yg menceritakan beberapa peristiwa yg berurutan. Misalnya: 1. Gambar nenek membuat adonan kue, 2. Gambar nenek mencetak kue, 3. Gambar nenek meletakkan kue yang sudah dicetak di atas alat memanggang, 4. Gambar kue sudah jadi. Acak kartu-kartu tersebut, lalu minta murid utk mengurutkan & menceritakannya dengan menggunakan sequence words.

Sebagai games, Anda bisa melakukan permainan yang saya temukan di sebuah situs pengajaran ESL (English as a Second Language). Permainan ini bernama Ghosts, sangat berguna untuk melatih simple past tense & juga sequence words. Tata caranya adalah sebagai berikut:

LANGKAH 1 Gambar figur orang-orangan pada papan tulis. Bagi murid menjadi tiga tim. Tiap tim memiliki tiga nyawa.

LANGKAH 2 Ulang kembali kata-kata kerja dalam past tense(sebanyak-banyaknya). Tim pertama memulai dengan kata “First“, tim kedua melanjutkan dengan “Next“, lalu tim ketiga meneruskan dengan “Then“, kemudian tim pertama kembali meneruskan dengan “After that” dan tim kedua menyimpulkan cerita dengan kalimat berawalan “Finally“; semua kalimat saling berkaitan satu sama lain. Setiap kali ada tim yang mendapat kata “First“, tim tersebut dapat memulai dengan cerita baru.

LANGKAH 3 Tim yang kehilangan tiga nyawa ‘meninggal’ dan menjadi hantu, sedangkan tim terakhir yang hidup menjadi pemenangnya.

Contohnya:

First, he got out of bed.
Next, he brushed his teeth.
Then, he went for a run.
After that, he had a shower.
Finally, he ate breakfast.

Tim akan kehilangan nyawa jika:

* mengulangi kata kerja yang sudah digunakan sebelumnya
* membuat kesalahan grammar
* memakan waktu terlalu lama
* kalimat yang dibuat tidak masuk akal

Ketika murid Anda sudah cukup percaya diri dalam menempatkan sequence words dalam kalimat hingga membentuk paragraf, Anda dapat memberinya tantangan untuk menulis jurnal liburan. Ingatkan mereka untuk menulis dalam past tense (bentuk lampau) & beri ruang (kotak kosong) dalam kertas kerja untuk menggambar ilustrasi pengalaman liburan tersebut.

 
2 Komentar

Ditulis oleh pada Desember 31, 2011 inci Uncategorized

 

Tag: ,

Refleksi 2011

10 hal yang saya pelajari dari tahun 1982-2011:

  1. bahwa setiap pengalaman yang harus dijalani seseorang tiada lain adalah untuk kebaikan dirinya,
  2. bahwa uang, materi, jabatan dan atribut semacamnya tak berarti saat kita berada di ambang hidup-mati,
  3. bahwa kita ’cukup’; meski rumput tetangga (terlihat) lebih hijau, meski kita selalu merasa kurang, meski (selalu) ada langit di atas langit. Kita akan merasa kaya di saat kita mampu mensyukuri apa yang kita miliki dan stop mencari-cari apa yang tidak kita miliki,
  4. bahwa hidup manusia tak akan terlepas dari kesedihan, kegagalan dan orang-orang yang menyebalkan. Kita tidak dapat mengatur mereka, tapi kita dapat mengatur respon kita terhadap situasi semacam itu,
  5. bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua orang,
  6. bahwa mengharapkan orang lain untuk membaca pikiran/bahasa tubuh kita adalah sia-sia. Pada kenyataannya, ada momen-momen tertentu dimana komunikasi verbal lebih efektif menyampaikan pesan,
  7. bahwa diam tak selamanya emas,
  8. bahwa sikap ’serius’ membuat kita sulit menikmati hidup,
  9. bahwa mempercantik diri itu ’theurapeutic’: If you look good, you’ll feel good,
  10. bahwa satu-satunya hal yang konstan adalah perubahan.

Sebelum 2012 tiba, sebelum sejumlah harapan dibumbungkan dan berbagai doa dipanjatkan, mari nikmati hari-hari terakhir di 2011 dengan penuh rasa syukur.

 
5 Komentar

Ditulis oleh pada Desember 28, 2011 inci Uncategorized

 

Tag: ,

The days are long, but the years are short.

Video kreasi Gretchen Rubin, penulis buku best-seller “The Happiness Project” >> www.theyearsareshort.com

 

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 23, 2011 inci Uncategorized

 

Tag:

Resolusi 2012: Cari Masalah

Difficulty is to ability like water is to a growing plant.

Diterbitkan 15 Desember, 2011 oleh Rodolfo Mendoza-Denton, Ph.D. dalam kumpulan artikel Are We Born Racist?

Saya pernah mendengar bahwa suatu masalah perlu dipahami sesuai konteks tumbuh-kembang manusia: kehilangan boneka beruang, misalnya, dapat membuat stres anak usia tiga tahun dalam level yang sama dengan kehilangan rumah bagi seorang dewasa. Kita mungkin dapat berkata bahwa ini adalah perbandingan yang tidak sepadan; tentu kita akan stres berat jika kehilangan rumah, tapi kita sulit berempati pada perasaan hancur yang dapat dialami anak berusia tiga tahun.

Saya seringkali harus mengingatkan ini ke diri sendiri saat anak-anak saya menunjukkan emosi berlebihan terhadap hal-hal sepele. Misalnya anak saya yang berusia enam tahun: kemarin pagi, saya memintanya memakai kaus kaki dan sepatu, sementara saya membantu adik kecilnya mengenakan pakaian. Lima menit kemudian, saya menemukan si kakak masih duduk di depan pintu, tanpa alas kaki, dan merengut. Saat saya mendekat, dia melemparkan kaus kakinya dan mulai menangis.

“Aku nggak bisa melakukannya!” teriaknya, “Aku bodoh!

Biasanya kita tak akan menggunakan kaus kaki sebagai alat ukur kecerdasan. Tapi, baginya, melihat semua orang dapat melakukannya dengan mudah, kecuali ia sendiri, tentunya menimbulkan frustrasi dan sangsi terhadap kemampuannya. Salah satu tema yang sering saya tulis adalah cara kita melihat kemampuan sendiri sebagai sesuatu yang konstan atau sesuatu yang dapat kita kembangkan; dengan syarat bisa beradaptasi dengan perasaan frustrasi jika kita meyakini bahwa kita mampu berkembang  (baca: blog ini dan blog itu ).

Situasi ‘kaus kaki’ ini adalah kesempatan sempurna untuk membuktikan teori bahwa kita dapat mengembangkan kecerdasan—gagasan yang hanya ia ‘iyakan’, tapi belum pahami, saat menemukan kesulitan dengan matematika, bacaan, atau menggambar.

Aspek kunci dari pesan ‘kembangkan-kecerdasan-Anda’ adalah kaitan eratnya dengan ‘masalah’. Jika kita percaya bahwa kemampuan dan kecerdasan bersifat konstan dan tak dapat berkembang, maka kesulitan yang ditemui hanya bisa dijelaskan dengan: syaraf error di otak, isu genetik, atau memang sudah ‘mentok’ tanpa bisa diperbaiki. Sangat mudah untuk mengambil kesimpulan bahwa seseorang adalah ‘produk gagal’: Saya pernah menerima pesan dari salah satu murid saya yang minta maaf karena ia tidak bisa mengerjakan tes dengan baik, dan dia menulis “Saya memang ‘kurang’.”

Namun, jika seseorang percaya bahwa kecerdasan merupakan sesuatu yang dapat dibentuk dan dikembangkan melalui latihan, maka masalah yang Anda hadapi adalah indikasi bahwa Anda telah mengaktifkan sel-sel cerdas itu dan melatih kemampuan yang Anda miliki. Kesulitan bagi kemampuan Anda adalah selaiknya air bagi tanaman yang sedang bertumbuh. Dengan demikian, Anda menjadi fleksibel saat dihadang masalah. Sebuat penelitian oleh sesama blogger Psychology Today, Heidi Grant Halvorson (Grant and Dweck, 2003) menunjukkan fakta ini di tengah para mahasiswa pra-kedokteran yang mengambil kelas sains dengan tingkat kesulitan tinggi—mereka yang tidak terlalu berhasil dalam tes mid-term tapi mempunyai tujuan dalam belajar menghasilkan nilai yang jauh lebih baik pada tes kedua, dibandingkan dengan mereka yang lebih berorientasi pada ‘nilai’ dibandingkan ‘belajar’.

Jadi, saya mengambil kaus kaki anak saya dan menunjukkan padanya, perlahan, cara memakai benda itu: kamu harus memastikan bahwa kaus kakinya tidak terbalik, tarik perlahan hingga tumit, buka dengan ibu jari supaya kakimu lebih mudah masuk (seiring proses, saya menyadari bahwa saya lupa kalau memasang kaus kaki memang sulit! Begitu banyak detil yang harus diperhatikan). Ia menatap saya dengan ekspresi meringis saat saya bilang, “Bagus-lah kalau itu sulit, karena itu mengaktifkan kecerdasanmu!” Reaksi serupa dengan membaca dan matematika dan mewarnai. Saya mencoba mengungkapkannya dengan istilah berbeda. “Nah ‘kan, masalah itu bagus!,” Saya mencoba, “Masalah itu membuatmu lebih cerdas!”

Kaus kaki si kakak sudah terpasang. Tapi, saat berdiri untuk mengambil adik kecilnya, tanpa sadar saya mencopot kaus kakinya kembali. Ia menatap saya saat kaus kaki itu saya berikan kepadanya.

“‘Nih,” ucap saya sambil tersenyum, “temui masalahmu.”

Ia memandang saya dengan matanya yang lebar, dan hal yang paling menakjubkan terjadi.

Ia tertawa! Tertawa atas perkataan saya barusan.

Pada saat itu, saya tahu bahwa dia paham. Akhirnya ia mengerti maksud saya tentang ‘masalah’ dan ‘latihan’. Ia masih mengenakan kaus kaki dengan cara yang salah, tapi saya bangga.

Jadi, seiring dengan bergulirnya 2011, dan resolusi mulai dibuat, pertimbangkan untuk mengikuti kelas baru, rutinitas gym yang menantang, atau skill baru yang Anda takuti karena Anda merasa ‘kurang’.

Singkat kata, carilah masalah…dan sepasang kaus kaki bagus untuk menjalaninya, supaya Anda akan selalu teringat posting ini.

(sumber: http://www.psychologytoday.com/blog/are-we-born-racist/201112/resolution-2012-find-yourself-some-trouble )

 
3 Komentar

Ditulis oleh pada Desember 21, 2011 inci Uncategorized

 

Tag:

Bahasa Tubuh Anda Mengatakan…

I speak two languages, Body and English.
– Mae West

Lebih dari 90% pesan yang kita sampaikan adalah non-verbal. Bahasa tubuh merupakan faktor utama dalam komunikasi non-verbal. Pesan-pesan yang ‘terkirim’ biasanya diterima oleh alam bawah sadar kita dan memberi stimulasi seperti ‘feeling‘ tertentu terhadap seseorang atau sebuah situasi: “Saya nggak suka orang itu, saya bisa merasa dia bohong” atau pada sisi positif, “Saya langsung merasa ‘klik’ dengannya”.

Bahasa tubuh dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan Anda dalam bernegosiasi, presentasi, dan berbagai interaksi sosial, termasuk saat PDKT =D

Berikut 25 bahasa tubuh yang sebaiknya dihindari saat berinteraksi dengan orang lain:

  1. Meletakkan Benda di Depan Tubuh Anda – cangkir kopi, bantal sofa, agenda, tas, dsb. Bahasa tubuh ini mengindikasikan perasaan malu dan menahan diri, seolah Anda ‘bersembunyi’ di balik benda tersebut untuk memisahkan diri Anda dari orang lain. Daripada membawa benda-benda di depan Anda, letakkan di samping tubuh Anda jika memungkinkan.
  2. Melihat Jam atau Kuku Jemari Anda – pertanda kejenuhan. Jangan sekali-kali melihat jam ketika Anda sedang berbicara dengan orang lain, sama halnya dengan kuku jemari Anda.
  3. Menarik Benang Lepas dari Pakaian Anda – jika Anda menarik benang yang terlepas dari pakaian Anda saat sedang berbicara dengan orang lain, terutama tanpa melihat ke arah benang tersebut, kebanyakan orang akan berasumsi Anda tidak setuju dengan ide mereka dan/atau tidak nyaman untuk beropini secara jujur.
  4. Mengusap Dagu Sambil Melihat Seseorang – “Saya sedang menilaimu!” Orang seringkali mengusap dagu saat melakukan proses pengambilan keputusan. Jika Anda melihat ke arah seseorang sambil mengusap dagu, mereka dapat berasumsi bahwa Anda membuat keputusan yang menghakimi mereka.
  5. Menyipitkan Mata – kalau Anda ingin memberi kesan bahwa Anda tidak menyukai mereka (atau ide mereka), sipitkan mata Anda saat melihat mereka. Ekspresi Anda langsung merengut seketika. Menyipitkan mata adalah ekspresi universal secara insting yang dilakukan beragam spesies dalam ‘animal kingdom’ (misalnya: ekspresi marah macan, anjing, dsb.). Beberapa orang menyipitkan mata sebagai refleks saat ‘berpikir’. Jangan mengirim pesan yang salah…stop menyipitkan mata.
  6. Berdiri Terlampau Dekat – hal ini membuat orang merasa tidak nyaman. Kebanyakan orang menganggap 1/2 meter sebagai jarak yang ‘aman’ bagi ruang pribadi mereka. ‘Pelanggaran’ batas tak terlihat ini hanya berlaku pada sahabat dan orang-orang terdekat.
  7. Melihat ke Bawah Saat Ada Orang Lain Dalam Ruangan – biasanya mengindikasikan ketidaktertarikan, bahkan arogansi. Usahakan melihat ke depan dan melakukan kontak mata saat memandang seseorang yang Anda kenal.
  8. Mengusap Wajah Saat Berbicara – sentuhan wajah, terutama pada hidung, biasanya diinterpretasikan sebagai indikasi ketidakjujuran. Begitu pula dengan menutup mulut, pertanda bahwa seseorang bohong.  Selalu jauhkan tangan dari wajah saat Anda berbicara.
  9. Mengukir Senyum Palsu – satu lagi tanda ketidakjujuran yang sering terlihat pada wajah penipu. Senyum yang tulus membentuk kerutan di sudut mata dan mengubah keseluruhan ekspresi wajah. Senyuman palsu hanya melibatkan bibir dan mulut. Mudah membedakan keduanya. Jangan memaksakan diri tersenyum…kecuali di depan kamera.
  10. Bersandar Menjauh dari Seseorang yang Anda Sukai – pertanda jenuh dan tidak tertarik. Beberapa orang dapat menginterpretasikannya sebagai: “Saya tidak menyukaimu.”  Orang biasanya mencondongkan tubuh ke orang-orang yang mereka sukai dan menjauh dari orang-orang yang mereka benci, terutama saat duduk di meja yang sama.  Jika Anda bersandar menjauh dari orang yang Anda suka, Anda mengirimkan pesan yang salah.
  11. Meletakkan Tangan di Balik Kepala atau Pinggul – umumnya diinterpretasikan sebagai tanda superioritas atau besar kepala. Hanya gunakan bahasa tubuh ini di lingkungan teman-teman dekat
  12. Tidak Menghadap Lawan Bicara Secara Langsung – hal ini memberi indikasi rasa tidak nyaman atau ketidaktertarikan. Saat terlibat dalam percakapan seru, kita menghadap ke lawan bicara dengan kedua kaki dan torso menghadap ke depan. Namun, jika kita merasa tidak yakin dengan lawan bicara, atau tidak sepenuhnya ingin berada di dalam percakapan, kita cenderung mengarahkan kedua kaki dan torso ke samping. Berdiri menghadap ke lawan bicara untuk memberi kesan bahwa Anda tertarik dengan apa yang dibicarakannya.
  13. Melipat Tangan di Dada – tanda perlawanan yang defensif. Beberapa orang juga dapat menginterpretasikannya sebagai tanda egoisme. Selalu jaga agar tangan bebas di sisi kanan dan kiri tubuh.
  14. Memperlihatkan Postur Malas – saat berada di dalam lingkungan dimana terdapat banyak orang, postur dapat otomatis menjadi penanda kepercayaan dan penguasaan diri Anda. Cara berdiri Anda merepresentasikan siapa Anda; mengirimkan pesan secara jelas mengenai bagaimana Anda harus diperlakukan dan di-respon. Letakkan kaki dalam posisi nyaman dan terbuka, tarik bahu, angkat kepala, dan sapa orang lain dengan kontak mata langsung dan jabat tangan kuat.
  15. Menggaruk Belakang Kepala dan Leher – tanda-tanda keraguan dan ketidakpastian. Bisa juga diinterpretasikan sebagai indikator kebohongan. Jauhkan tangan dari kepala saat berkomunikasi dengan orang lain.
  16. Memainkan Kerah Kemeja Anda – sama dengan berteriak: “Saya merasa sangat tidak nyaman dan/gugup!”  Sekali lagi, jaga tangan Anda agar tidak ‘berlari’ ke tempat yang tak seharusnya.
  17. Sering Mengedipkan Mata – pertanda jelas kecemasan. Beberapa orang akan mulai mengedip-kedipkan mata mereka sangat cepat (seiring meningkatnya detak jantung) saat gugup. Karena orang berusaha sesering mungkin membuat kontak mata, kebiasaan ini menjadi semakin kentara. Sadari dan kontrol ‘serangan’ gugup ini.
  18. Membungkukkan Bahu – indikator rendahnya kepercayaan diri. Orang mengasosiasikan bahu tegap dengan kepercayaan diri tinggi. Tarik dan tegapkan bahu. Anda tak hanya akan ‘terlihat’ PD, tapi juga ‘merasa’ PD.
  19. Berdiri Menutup Alat Vital – postur santai ini adalah jaminan bahwa respek orang terhadap Anda akan berkurang, bahkan sebelum Anda mengucap sepatah kata pun. Orang yang merasa gugup atau tidak yakin dengan kemampuan mereka akan ‘membentengi’ diri, dan tanpa sadar menutup bagian tersensitif mereka.  Postur berdiri ini membuat bahu Anda condong ke depan dan keseluruhan tubuh terlihat lebih kecil dan lemah. Lagi-lagi, jaga tangan agar selalu berada di samping tubuh dan bahu tegap.
  20. Menyangga Kepala dengan Kedua Tangan – “Saya mulai jenuh!”  Jangan sesekali menggunakan bahasa tubuh ini di tengah percakapan. Letakkan kedua tangan di atas meja (dan jaga agar posisinya tetap di atas meja).
  21. Mengelap Tangan Berkeringat ke Pakaian – tanda kegugupan parah. Jika tangan Anda berkeringat, biarkan saja. Ambil beberapa napas panjang dan coba rileks.
  22. Duduk di Pinggir Kursi – tidak nyaman secara fisik maupun mental. Orang-orang di sekitar Anda juga akan tertular perasaan tak nyaman. Cukup gerakkan punggung saat mencondongkan tubuh ke depan.
  23. Mengetuk-ketukkan Kaki atau Tangan – biasanya menandakan stres, ketidaksabaran atau kejenuhan. Perhatikan munculnya kebiasaan ini dan latih anggota tubuh agar berhenti ketika Anda mulai menggerak-gerakkannya.
  24. Memainkan Benda Kecil dengan Tangan – bolpen, bola kertas, dll.  Ini adalah tanda kecemasan dan kurangnya persiapan.
  25. Mengganti Tumpuan dari Satu Kaki ke Kaki Lainnya Berulangkali – Ini adalah bahasa tubuh yang mengesankan perasaan tidak nyaman secara fisik maupun mental. Orang lain dapat menangkap pesan ini dan berasumsi bahwa Anda gelisah dan bersiap-siap pergi. Stop berganti tumpuan kaki tiap 2-3 menit sekali.

(sumber: http://www.marcandangel.com/2008/07/07/25-acts-of-body-language-to-avoid/ )

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 21, 2011 inci Uncategorized

 

Tag:

Matikan TV.

Suara TV Sebagai Latar Belakang dan Pengaruhnya ke Anak

Anak-anak bisa tetap terpengaruh oleh TV meski mereka tidak menontonnya.
Diterbitkan 13 Desember, 2011 oleh Amy Nathanson, Ph.D. pada artikel Turn Off That TV
TV adalah bagian dari kehidupan sehari-hari, bahkan termasuk dalam anggota keluarga. Kita menyalakannya di pagi hari untuk mengetahui berita terbaru. Kita tetap menyalakannya sepanjang hari agar ada latar belakang suara hingga rumah tidak terasa sepi dan lebih nyaman. Kita otomatis mencari remote control, karena sudah jadi kebiasaan, setiap kali masuk ke dalam rumah. Mayoritas rumah menyalakan TV sepanjang hari, meski tak ada orang yang menontonnya sekalipun.

Jadi, apa yang terjadi ketika kita telah menjadi orang tua dan menyalakan TV sepanjang hari saat anak-anak berada di dalam ruangan? Apakah itu jadi persoalan? Toh kita sudah memilih tayangan yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan. Tentunya logis jika anak-anak tidak menonton, mereka tidak akan terpengaruh hal-hal negatif dari tayangan TV ‘kan?

Namun, “latar belakang TV” ternyata berpengaruh kepada mereka, walaupun bukan dalam segi yang kita khawatirkan. Anak usia pra-sekolah yang bermain dengan latar belakang tayangan film CSI tidak akan mengikuti adegan di dalamnya. Bayi yang sedang disuapi oleh orang tuanya dengan latar belakang berita malam tidak akan ketakutan karena berita meresahkan yang sedang ditampilkan.

Efek latar belakang TV pada anak-anak usia dini memang lebih ‘ringan’, tapi sangatlah penting, sebab suara TV mengganggu kegiatan bermain mereka. Dalam sebuah penelitian, anak-anak usia 12-36-bulan yang bermain dengan mainan mereka saat kedua orang tua berada di ruangan yang sama sambil menonton tayangan program untuk orang dewasa bermain dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan mereka yang bermain dengan kondisi TV dimatikan. Selain itu, anak-anak yang bermain dengan TV menyala menggunakan bentuk-bentuk permainan yang tidak serumit anak-anak yang bermain dengan TV mati. Nampaknya, tayangan TV, meski sulit dipahami dan membosankan bagi anak-anak, tetap mampu mengganggu konsentrasi mereka.

Hal ini mungkin tidak bersifat mengkhawatirkan. Namun, kegiatan bermain sangat penting bagi tumbuh-kembang anak. Saat bermain, anak bereksperimen dengan berbagai obyek, belajar tentang sebab dan akibat, serta melatih kreativitas juga daya imajinasi mereka. Bermain juga membantu perkembangan sosial anak-anak, sebab kegiatan tersebut melibatkan kemampuan mereka dalam mempertimbangkan cara pandang pihak lain, mempraktikkan negosiasi dan juga strategi pemecahan masalah. Jika sesi bermain sangat pendek atau diinterupsi berulang kali, mereka tidak akan mampu meningkatkan kemampuan kognitif dan manfaat sosial dari bermain.

Suara latar belakang TV juga mengganggu interaksi orang tua-anak. Tidak mengherankan, orang dewasa lebih irit berbicara dengan anak mereka saat TV menyala. Sulit bagi orang dewasa untuk mengalihkan perhatian dari TV dan fokus pada anak-anak, terutama jika tayangan TV menarik. Dalam penelitian berbeda, para peneliti menemukan bahwa orang tua yang ‘terusik’ latar belakang suara TV yang menyala lebih jarang berinteraksi dengan bayi dan balita mereka. Hal ini penting, sebab komunikasi yang sehat antara orang tua-anak sangat krusial bagi perkembangan anak.

Para peneliti semakin tertarik pada isu efek latar belakang suara TV terhadap anak-anak. Sebuah laporan membeberkan fakta bahwa ada kurang lebih sepertiga keluarga dengan anak usia dini yang ditinggalkan dengan TV menyala sepanjang hari. Kita telah memberikan izin kepada TV untuk mengambil peranan penting dalam hidup. TV, bahkan sebagai latar suara, masih memiliki kontrol di atas wewenang penghuni rumah. Mungkin sudah saatnya kita memberi istirahat panjang bagi ‘anggota keluarga’ yang satu ini.

(sumber: http://www.psychologytoday.com/blog/turn-tv )

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada Desember 19, 2011 inci Uncategorized

 

Tag:

Memperkaya Kosakata

Sejak sebulan yang lalu, saya mulai mengajar sejumlah anak yang tidak terlalu terekspos dengan bahasa Inggris. Ketika anak-anak lain pada umumnya sudah terbiasa mendengar percakapan berbahasa Inggris lewat acara TV atau permainan, murid-murid saya ini bahkan lebih familiar dengan bahasa Arab dibandingkan bahasa Inggris.

Jangankan memperkenalkan Grammar, kosakata mereka saja masih sangat minim. Padahal, kosakata adalah prioritas utama dalam mempelajari bahasa kedua. Jika kita melakukan kesalahan dalam tata bahasa, orang lain mungkin akan tetap mengerti pesan yang kita sampaikan. Namun, jika kita menggunakan kata yang salah, kemungkinan terjadinya salah paham akan sangat besar.

Setelah gugling, saya menemukan beberapa ide aktivitas mengajar untuk menambah bank kata-kata mereka dari http://www.everythingesl.net/inservices/september.php :

  1. Perkenalkan berbagai jenis warna, bentuk, angka, bagian tubuh dan kosakata yang sering digunakan dalam percakapan
  2. Tiap murid dapat membuat satu set flashcards untuk dirinya dengan tema ‘Benda yang Dapat Ditemui di Kelas”. Untuk mengajarkan nama benda-benda di dalam kelas, tunjuk ke arah benda/gambar benda dan tanyakan, “What is this?” dan murid menjawab “This is a _______” . Tuliskan  kalimat tersebut, lalu minta murid untuk menyalinnya di atas flashcard. Setelah selesai membuat project ini, simpan set materi tersebut di dalam folder berisi plastic sheet agar tidak tercecer. Anda dapat menginstruksikan mereka untuk membuat beberapa set flashcards dengan tema-tema lain. Flashcards dapat digunakan untuk banyak aktivitas, di antaranya ‘Matching Game‘ (misalnya: mencocokkan papan tulis dengan spidol), ‘Sorting Game‘ (misalnya: menyortir dua jenis flashcards yang telah diacak hingga kembali setema), dll.
  3. Pancing murid dengan pertanyaan untuk membuka percakapan. Misalnya: “Is there a chair in the room?“, lalu lanjutkan dengan “Is there a book or a pencil on the table?
  4. Jika murid-murid sudah hapal 10 nama benda dalam bahasa Inggris, Anda dapat melakukan permainan ini:Letakkan 6-10 benda (gunting, penggaris, pensil, bolpen, penghapus, buku, stapler, dsb.) di atas meja, tutupi dengan kain. Berikan kesempatan bagi murid untuk melihat benda-benda tersebut (lama-sebentarnya tergantung pada usia dan kemampuan murid). Minta anak untuk memejamkan mata, sementara Anda mengambil sebuah benda. Minta murid untuk menebak, apa benda yang hilang. Murid yang dapat menebak benda tersebut dengan tepat boleh mengambil benda selanjutnya dari atas meja.
  5. Buat kamus bergambar dengan menyatukan kertas A4 yang telah dilipat  dengan stapler hingga menyerupai buku. Murid menggunting gambar dari majalah-majalah bekas. Anda dapat membagi halaman-halaman yang ada sesuai alfabet ataupun kategori (misalnya kategori Makanan, Olahraga, Bagian Tubuh, Pakaian dsb.). Setiap kali ada waktu senggang, dorong murid untuk mengisi kamus bergambar mereka
  6. Buat poster kosakata. Sistemnya mirip dengan kamus bergambar, tetapi murid bekerja dalam kelompok. Hasil akhir poster dapat dipajang di kelas.
  7. Bacakan cerita kepada murid-murid Anda secara rutin. Bacaan harus memiliki gambar, diceritakan dengan bahasa tubuh dan suara yang didramatisisasi agar Anda dapat menarik perhatian mereka

Semakin banyak exsposure yang mereka peroleh, baik dari permainan komputer, aktivitas di kelas, bacaan, film, cerita maupun percakapan, semakin kaya pula perbendaharaan kata mereka.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 17, 2011 inci Uncategorized

 

Tag: ,

Discovering One’s Passion from Childhood

Setiap orang tua tentu ingin yang terbaik untuk anaknya. Sekolah terbaik, nilai-nilai akademik yang bagus, jurusan yang memudahkannya untuknya bekerja nanti, dan seterusnya. Wajar lah

Tapi, sering kali ekspektasi orang tua tidak terhenti sampai di situ. Banyak orang tua yang turut andil dalam menentukan anak masuk jurusan IPA atau IPS ketika SMA. Kalau masuk IPA, bagus, kalau masuk IPS, dikomentari “Wah, seharusnya ‘kan bisa masuk IPA.” Berapa banyak anak yang menuruti ‘dorongan’ orang tuanya untuk masuk IPA, lalu akhirnya lulus dengan nilai pas-pasan (padahal ia bisa ‘bersinar’ di IPS)? Belum lagi anak yang mengambil jurusan kuliah tertentu atas anjuran (dan desakan) orang tuanya, kemudian berakhir jadi pengangguran karena ia tidak menyukai bidang yang di-‘pilihkan’ untuknya.

Kadang kita lupa bahwa yang menjalani hidup adalah mereka sendiri (bukan orang tuanya). Mereka memiliki minat dan ketertarikan tersendiri yang, jika dipupuk dan didukung, bisa terarah kepada passion mereka. Dengan passion, mereka memiliki bahan bakar yang seolah tak habis-habis untuk menjajaki jalan yang mereka pilih. Dengan passion, mereka tidak ’bekerja’, tapi ’berkarya’. Dengan passion, mereka tidak ’sekedar melalui hari’, tapi ’hidup dari hati’. Dengan passion, kecukupan materi akan mengikuti.

Di masa kanak-kanak, kita tahu persis apa yang ingin kita lakukan, hal-hal yang kita sukai, hasrat yang ingin kita penuhi. Sayangnya, seiring beranjak dewasa, pikiran kita banyak diselubungi kekhawatiran: ’Bisa nggak ya, saya merealisasikannya?’, ’Masih pantas nggak ya, saya mengejar mimpi?’, ’Sebenarnya saya ingin sekali _____, tapi apa kata dunia?’ dan ujungnya ’Sudahlah, nggak usah menyusahkan diri sendiri. Cari amannya aja…’ (lalu kembali melakukan ’apapun yang bisa dikerjakan’ dan mengubur passion dalam-dalam).

Tidak ada yang salah dengan menjalani hari dengan melakukan ’apapun yang bisa dikerjakan’, karena itu sudah menjadi pilihan pribadi. Di dalam dunia nyata, memang tak semua orang dapat mewujudkan mimpi mereka. Tapi, setidaknya dengan mengetahui hal-hal yang menarik minat anak, Anda dapat membantunya menemukan ’tempat bahagia’-nya.

Dalam mengarahkan anak ke passion-nya, Prof. Bill Damon dari Stanford University merekomendasikan orang tua untuk melakukan hal ini:

  1. Selalu komunikasikan kepada anak bahwa setiap hal yang mereka lakukan adalah penting, sekecil apapun itu
  2. Amati, apa minat terbesarnya
  3. Tanamkan sikap optimistis dan pandangan positif terhadap hidup
  4. Berikan pengetahuan dan kesempatan untuk membantu anak Anda mendapatkan informasi atau ruang untuk mengembangkan minatnya

 

Love, love, love, love, love, love, love, love, love.

There’s nothing you can do that can’t be done.

Nothing you can sing that can’t be sung.

Nothing you can say but you can learn how to play the game

It’s easy.

There’s nothing you can make that can’t be made.

No one you can save that can’t be saved.

Nothing you can do but you can learn how to be you

in time – It’s easy.

All you need is love, all you need is love,

All you need is love, love, love is all you need.

♥ The Beatles

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 16, 2011 inci Uncategorized

 

Tag:

Salah Satu Penyebab Agresivitas Anak

50% anak yang dipukul orang tuanya dua kali dalam sebulan lebih besar kemungkinannya tumbuh menjadi anak yang agresif dan berperilaku kasar dibandingkan anak yang tidak pernah dipukul orang tuanya. 

(sumber: www.psychcentral.com)

Data penelitian ini konkrit. Saya memiliki kenalan seorang ibu yang memukul anaknya setiap kali putra pertamanya yang (sangat) aktif melakukan kesalahan di matanya. Saat ia susah makan, saat ia merebut mainan dari tangan temannya, saat ia memukul temannya karena mainannya direbut, saat ia bergerak terlampau aktif hingga melukai dirinya sendiri, saat nilai-nilai akademisnya menurun dan sejumlah peristiwa lainnya yang banyak berakhir dengan kurungan di kamar gelap, cubitan hingga biru bahkan lemparan sepatu.

Hal ini bukannya dilakukan sang ibu tanpa sadar. Ia tak segan-segan memarahi anaknya di muka umum dengan prinsip bahwa anak tak dapat menindasnya lewat tangisan memelas untuk menarik simpati orang lain (seperti ibu-ibu lain yang menahan diri untuk memarahi anaknya di depan umum saat anaknya ‘bertingkah’). Bahkan, beberapa kali sempat terucap olehnya, “Di Amerika, apa yang saya lakukan tergolong child abuse, nih…saya bisa kena sanksi masuk penjara.” Tapi, ia tetap mengimplementasikan ‘cara’-nya tanpa terkecuali.

Keadaan mulai berubah saat sang ibu berkonsultasi ke sebuah institusi Psikologi. Setelah melalui serangkaian tes, putranya didiagnosa memiliki ADD (Attention Deficit Disorder) & kecenderungan Hiperaktif. Ibunya terpukul. Selama ini, ia berpikir bahwa dengan meredam hiperaktivitas putranya melalui teknik ‘keras’, ia bisa membantu anaknya untuk tahu batas, bahkan menyelamatkannya dari reaksi orang lain yang tidak selalu bersahabat saat ia butuh ‘hands-on’ (baca: iseng menjawil pipi temannya hingga merah karena gemas, spontan menyentuh display toko yang terlihat menarik hingga jatuh, dsb.). Niat ibu tersebut sederhana: ia hanya ingin melindungi putranya. Namun, karena belum pernah memiliki pengalaman sebelumnya, ia frustrasi dan akhirnya berlaku demikian. Psikolog kemudian memberi tips-tips yang bisa dilakukan agar putranya dapat meningkatkan kepercayaan diri & mengejar ketertinggalannya dalam pelajaran.

Proses ‘pemulihan’ tidak lantas berbuah happy-ending. Putranya tumbuh jadi pribadi pemalu, submisif dan sulit mengambil keputusan. Saat marah, terlihat bahwa anak tersebut cenderung agresif & kasar—bisa jadi hal ini merupakan kompensasi dari perasaan represif yang menumpuk selama masa kecilnya. Jika mengingat masa lalu, nampak jelas penyesalan mendalam di wajah ibunya. Namun, segalanya telah terjadi. Semoga artikel ini dapat memberi sedikit pencerahan agar tidak ada lagi orang tua yang meneruskan ‘tradisi’ menghukum anak dengan kekerasan.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Desember 15, 2011 inci Uncategorized

 

Tag:

Belajar Interaktif

Belajar Interaktif

Saat saya duduk di bangku SD, sistem pendidikan yang berlaku adalah pendidikan satu arah: guru mengajar, murid mendengarkan. Setelah menjelaskan materi, guru cenderung tidak pernah melontarkan pertanyaan yang membutuhkan feedback—hingga saya menyimpulkan bahwa (sebagian besar) kami tidak terbiasa untuk berpikir kritis. Mungkin hal ini ada kaitannya juga dengan kekuasaan rezim Soeharto dulu yang, well, menjaga agar segala sendi kehidupan tetap berada dalam ‘jalur’.

Saya dapat melihat perbedaan yang menyolok antara generasi saya dan anak-anak SD masa kini. Anak-anak ini mampu membuat saya tercengang saking kritisnya. Keluwesan mereka dalam menggunakan beraneka ragam gadget, komentar-komentar provokatif yang keluar dari bibir mungil mereka serta keberanian dalam berekspresi menunjukkan betul bahwa nilai-nilai ‘lama’ sudah bergeser.

Pendidikan berfokus pada anak; inilah sistem yang mulai digalakkan satu dekade belakangan. Namun, meskipun demikian, hal ini bukan berarti bahwa anak dapat bertingkah semena-mena. Anak juga wajib diperkenalkan dengan tata cara dan disiplin agar mereka dapat menghormati orang lain saat kelak hidup bermasyarakat. Dalam menerapkan disiplin, ‘dihormati karena tegas’ dan ‘ditakuti karena galak’ adalah dua hal yang berbeda. Anda ‘tegas’ ketika memberi konsekuensi kepada seorang anak untuk pindah ke bangku kosong hingga sisa pelajaran karena mengobrol. Anda ‘galak’ ketika membanting meja anak yang mengobrol dan menegurnya dalam nada yang memekakan telinga.

Guru 2.0 dituntut untuk dapat mengakomodasi anak-anak ini dengan lebih membuka diri terhadap beragam informasi dan wawasan baru (yang bisa muncul tiap menit dari berbagai akses jejaring sosial) dan mengadaptasi sistem belajar interaktif (dua arah). Selalu ada alasan di balik tiap pernyataan. Biasakan anak untuk menjawab lebih dari sekedar “Ya, ‘gitu deh…” saat Anda bertanya “Mengapa kamu suka mendengarkan musik?” Kalau anak mengalami kesulitan mengeluarkan isi pikirannya, pancing dengan pertanyaan demi pertanyaan hingga ia terbiasa beropini dengan lancar.

Belajar secara interaktif melalui diskusi, sharing, dan brainstorm dapat menelurkan ide-ide cemerlang yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya. Pembelajaran ini akan sangat bermanfaat ketika anak sudah masuk ke dunia pekerjaan, sebab mereka sudah dibiasakan untuk berpikir secara dinamis dan berani mengungkapkan gagasan.


 
2 Komentar

Ditulis oleh pada Desember 14, 2011 inci Uncategorized

 

Tag: